UNDANG-UNDANG NOMOR ..... TAHUN .....
TENTANG
ACARA PERADILAN AGAMA
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
Menimbang:
bahwa untuk melengkapi Undang-Undang tentang Ketentuan-Ketentuan pokok Kekuasaan Kehakiman pasal 18 ayat (1) huruf b dan pasal 12, perlu ditetapkan Undang-Undang tentang Acara Peradilan Agama.
Mengingat:
1. Pasal 5 ayat (1), pasal 20 ayat (1), pasal 24, pasal 25 dan pasal 29 Undang-Undang Dasar 1945; 2. Ketetapan Majlis Permusyawaratan Rakyat No.IV/MPR/1973. 3. Pasal 10 ayat (1) dan pasal 12 Undang-Undang nomor 14 tahun 1970
Undang-Undang No ..... tahun .... tentang Susunan dan Kekuasaan Badan-Badan Peradilan Agama.
Dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.
MEMUTUSKAN:
Menetapkan:
UNDANG-UNDANG TENTANG ACARA PERADILAN AGAMA
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
a. Pengadilan, ialah Pengadilan Agama. b. Pengadilan Tinggi, ialah Pengadilan Tinggi Agama. c. Mahkamah Agung, ialah Mahkamah Agung bidang Agama.
d. Ketua, ialah Ketua sidang pemeriksaan atau permusyawaratan Pengadilan .
Pasal 2
(1) Hukum Acara ini melaksanakan ketentuan-ketentuan hukum materiil yang bersumber pada wewenang Peradilan Agama. (2) Pengadilan wajib menyelesaikan seluruh segi dari perkara dalam waktu sesingkat-singkatnya.
BAB II
MENGAJUKAN GUGATAN DAN PERMOHONAN
Pasal 3
(1) Gugatan atau permohonan yang diajukan oleh pihak yang bersangkutan atau seorang wakil yang dikuasakan untuk itu harus menerangkan duduk persoalannya sebagai dasar untuk memohon keputusan setidak-tidaknya mohon keadilan. (2) Jika gugatan atau permohonan diajukan secara lisan, maka Ketua Pengadilan atau yang ditunjuk olehnya mencatatnya.
Pasal 4
Pengadilan yang berwenang memeriksa dan memutuskan .
a. Permohonan izin untuk melakukan perkawinan bagi mereka yang berumur kurang dari 21 tahun dalam hal orang tua/walinya berbeda pendapat atau tidak dapat menyatakan pendapatnya, ialah yang wilayah hukumnya
meliputi tempat tinggal orang yang akan melangsungkan perkawinan. b. Permohonan dispensasi untuk melakukan perkawinan bagi mereka yang berumur kurang dari 19 tahun bagi laki-laki dan 16 tahun bagi wanita, ialah
yang wilayah-hukumnya meliputi tempat tinggal pemohon. c. Permohonan pencegahan perkawinan ialah wilayah hukumnya meliputi tempat dimana perkwinan akan dilangsungkan. d. Permohonan peninjauan atas
penolakan perkawinan oleh pegawai pencatat perkawinan, ialah yang wilayah hukumnya meliputi tempat kedudukan pegawai pencatat perkawinan tersebut. e. Permohonan pembatalan perkawinan ialah yang wilayah hukumnya
meliputi tempat dimana perkwinan dilangsungkan atau tempat kedua suami istri, suami atau istri. f. Gugatan salah satu pihak suami atau istri atas kelalaian pihak lainnya dalam memenuhi kewajibannya ialah yang
wilayah hukumnya meliputi tempat penggugat. g. Permohonan izin poligami ialah yang wilayah hukumnya meliputi tempat tinggal pemohon. h. Gugatan perceraian ialah yang wilayah hukumnya meliputi tempat
tergugat, kecuali bila tempat tinggal tergugat tidak jelas, tidak diketahui, atau tidak tetap, maka gugatan perceraian dapat diajukan ke Pengadilan di tempat penggugat.
i. Perkara nafkah dan keperluan kehidupan lainnya ialah yang wilayah hukumnya meliputi tempat tinggal penggugat. j. Perkara waris ialah yang wilayah hukumnya meliputi tempat tinggal sipeninggal warisan.
k. Perkara wakaf ialah yang wilayah hukumnya meliputi benda wakaf yang bersangkutan. l. Perkara-perkara selain yang tersebut diatas, ialah yang wilayah hukumnya meliputi tempat penggugat atau pemohon.
Pasal 5
(1) Bila tempat tinggal tergugat di luar daerah hukum Pengadilan yang berwenang, maka Ketua Pengadilan tersebut dapat minta bantuan kepada Ketua Pengadilan yang daerah hukumnya mewilayahi tempat tinggal tergugat untuk mengadakan pemeriksaan terhadap tergugat.
(2) Bila tempat tinggal tergugat ada di luar Indonesia, maka Ketua Pengadilan yang berwenang mengadili perkarannya dapat minta bantuan kepada Kepala Perwakilan Republik Indonesia di tempat tergugat, dengan melalui Departemen Agama dan Departemen Luar negeri, untuk mengadakan pemeriksaan terhadap tergugat.
Pasal 6
(1) Permintaan penggugat dimaksudkan dalam daftar perkara, setelah penggugat memenuhi biaya pendaftaran selain biaya perkara sesudah putusan dijatuhkan.
(2) Bagi pihak yang tidak mampu, dibebaskan dari beban-beban tersebut pada ayat (1) pasal ini bila ada surat keterangan tidak mampu yang ditandatangani oleh Lurah dan diketahui oleh Camat.
Pasal 7
(1) Ketua Pengadilan menetapkan urutan perkara-perkara yang harus diadili dan membagi-bagikan berkas perkara-perkara itu kepada hakim untuk diselesaikan.
(2) Ketua Pengadilan menunjuk Ketua dan Anggota2 Sidang, Panitera, atau Panitera Pengganti yang membantunya.
(3) Ketua menetapkan hari dan jam kapan perkara yang bersangkutan akan diperiksa.
(4) Dalam menetapkan hari dan jam tersebut pada ayat (3) pasal ini Ketua harus memperhatikan jauh dekatnya tempat tinggal para pihak dan jangka waktu untuk mempersiapkan jawaban atas gugatan itu.
(5) Bila hari dan jam tersebut dalam ayat (3) pasal ini sudah ditetapkan, maka Ketua memerintahkan agar para pihak hadlir dalam sidang dengan membawa saksi-saksi dan surat yang akan diperiksa.
(6) Surat panggilan kepada tergugat harus dilampiri salinan surat/catatan gugatan.
Pasal 8
(1) Para pihak dapat dibantu oleh penasehat hukum.
(2) Penunjukan penasehat hukum oleh para pihak dapat dilakukan dengan surat khusus atau dimasukkan sama sekali dalam surat gugatan atau diperkenalkan kepada Ketua secara lisan pada sidang pemeriksaan.
(3) Penggugat dan tergugat harus hadir dalam sidang pemeriksaan, meskipun telah dibantu oleh penasehat hukumnya masing-masing.
Pasal 9
(1) Bila penggugat dipanggil dengan baik tetapi tidak datang dan tidak mengirimkan berita tentang alasan ketidak hadirannya, maka gugatannya dianggap gugur, sedang biaya-biaya dalam pasal 6 ayat (1) yang telah dibayarnya tidak dikembalikan.
(2) Penggugat tersebut pada ayat (1) pasal ini dapat mengulangi gugatannya dengan membayar lagi semua biaya tersebut dalam pasal 6 ayat (1).
Pasal 10
(1) Jika tergugat sesudah dipanggil dengan baik tiga kali berturut-turut tidak datang tanpa alasan yang dapat diterima untuk menunda sidang, maka gugatan dapat diperiksa dan diputus dengan putusan tak hadir (verstek), kecuali kalau gugatan itu ternyata melawan hukum atau tidak beralasan.
(2) Bila tergugat atau penasehat hukumnya mengajukan tangkisan (eksepsi) bahwa Pengadilan tersebut tidak berwenang untuk memeriksa perkara yang bersangkutan, maka tangkisan itu harus diperiksa terlebih dahulu. Bila tangkisan ditolak maka Pengadilan melanjutkan pemeriksaan.
(3) Bila gugatan tersebut ayat (1) pasal ini telah diperiksa dan diputus, maka Ketua menyampaikan salinan putusan itu kepada tergugat yang tidak hadir dengan keterangan bahwa tergugat berhak mengajukan perlawanan. (verzet) terhadap putusan tersebut dalam jangka waktu empat belas hari terhitung mulai hari berikutnya salinan putusan tak hadir itu diterima olehnya.
(4) Panitera mencatat dibawah surat putusan tersebut nama petugas yang menyampaikan salinan putusan tersebut dalam ayat (3) pasal ini dan uraian singkat tentang pelaksanaan tugas serta hasilnya.
Pasal 11
(1) Putusan tak hadir baru dapat dijalankan sesudah lampau waktu tersebut dalam pasal 10 ayat (3), dan tidak ada perlawanan dari fihak tergugat.
(2) Bila ada sangkaan yang beralasan bahwa yang bersangkutan akan merong-rong putusan Hakim, misalnya dengan cara menggelapkan barang-barang yang akan disita dan sebagainya, maka atas permintaan pihak yang menang atau yang berkepentingan Ketua dapat memerintahkan secara tertulis agar putusan itu dilaksanakan.
Pasal 12
(1) Perlawanan terhadap putusan tak hadir diajukan kepada Ketua dalam jangka waktu tersebut dalam pasal 10 ayat (3).
(2) Perlawanan terhadap putusan tak hadir dimasukan, diperiksa dan diputus sebagai perkara biasa.
(3) Jika perlawanan terhadap putusan tak hadir sudah masuk, maka pelaksanaan putusan tak hadir yang dilawan ditunda, kecuali bila ada perintah menjalankan putusan seperti yang dimaksud dalam pasal 11 ayat (2).
(4) Jika putusan tak hadir dijatuhkan untuk yang kedua kalinya, maka perlawanan terhadap putusan tak hadir yang kedua kalinya tidak dimungkinkan.
Pasal 13
(1) Seorang Hakim tidak boleh memeriksa perkara, baik langsung maupun tidak langsung mengenai dirinya sendiri, isterinya atau salah seorang dari keluarganya, baik sedarah sampai derajat ketiga maupun semenda.
(2) Hakim yang terkena ayat (1) pasal ini wajib mengungurkan diri untuk memeriksa dan memutus perkara yang bersangkutan.
(3) Bila ada kesangsian atau ada selisihan paham tentang hal tersebut pada ayat (1) pasal ini diperiksa dan diputus oleh sidang Pengadilan yang bersangkutan.
Pasal 14
(1) Penggugat atau tergugat dapat mengajukan keberatan terhadap seorang Hakim yang bersidang, bila Hakim itu: a. Mempunyai hubungan keluarga sedarah sampai derajat ketiga atau semenda dengan Panitera, Panitera Pengganti, Penasehat Hukum atau dengan Hakim lainnya. b. mempunyai kepentingan dalam perkara yang akan disidangkan seperti dimaksud dalam pasal 13 ayat (1).
(2) Keberatan tersebut dalam ayat (1) pasal ini disampaikan kepada Ketua Pengadilan.
Pasal 15
Bila yang bersangkutan tidak menerima terhadap putusan dalam ayat (2) pasal 14 maka keberatannya diajukan kepada Pengadilan Tinggi yang berwenang, yang dalam waktu 3 (tiga) bulan harus sudah memberi putusan.
BAB III
MEMERIKSA PERKARA DALAM SIDANG
Pasal 16
(1) Pengadilan memeriksa dan memutus perkara dengan sekurang-kurangnya 3 (tiga) orang Hakim.
(2) Jika pada hari yang ditentukan dalam pasal 7 ayat (3) para pihak datang maka Ketua berusaha untuk mendamaikan mereka itu.
(3) Jika perdamaian tersebut dalam ayat (2) pasal ini terjadi, maka dibuatnya akte perdamaian, yang mempunyai kekuatan hukum sebagai putusan Pengadilan dan mengikat kedua belah pihak.
(4) Mengenai putusan perdamaian ini tidak dimungkinkan banding.
Pasal 17
Kalau usaha perdamaian tersebut dalam pasal 16 gagal, maka surat gugatan mulai dibaca dan selanjutnya Hakim memeriksa penggugat, tergugat, saksi-saksi dan bukti-bukti lainnya.
Pasal 18
(1) Jika dianggap perlu oleh Ketua, untuk melancarkan jalannya perkara, ia dapat memberi nasehat dan petunjuk-petunjuk kepada kedua belah pihak tentang upaya-upaya hukum atau keterangan yang dapat dipergunakan oleh mereka .
(2) Bila dipandang perlu, para pihak mempergunakan juru bahasa yang mempunyai sifat amanah, yakni sifat terpercaya, yang lebih dulu harus disumpah bahwa dia harus menterjemahkan dengan sebenarnya dari suatu bahasa ke bahasa yang lain.
Pasal 19
Dalam tiap-tiap perkara, tergugat berhak memasukkan gugat balasan (rekonvensi) kecuali:
a. Bila Pengadilan yang memeriksa gugatan penggugat tidak berwenang memeriksa gugatan balasan itu. b. Bila gugat balasan itu mengenai pelaksanaan putusan Pengadilan.
Pasal 20
(1) Gugat balasan harus diajukan oleh tergugat dengan secara lisan atau tulisan bersama-sama dengan jawaban atas gugatan penggugat.
(2) Gugatan penggugat den gugat balasan tergugat diperiksa bersama-sama dan diputuskan dalam satu surat putusan, kecuali bila ada alasan penting yang mengharuskan pemisahan atas putusan itu.
(3) Bila gugatan den gugat balasan itu mengenai persoalan yang sama sekali tidak ada hubungannya, maka pemeriksaannya dipisahkan dan diputus dalam surat putusan tersendiri.
Pasal 21
Tergugat yang dipanggil menghadap sidang Pengadilan menurut pasal 7 ayat (5) dapat mengajukan tangkisan, bahwa Pengadilan tidak berwenang memeriksa perkaranya, yang harus diajukan pada kesempatan pertama, sebelum menjawab gugatan.
Pasal 22
Segala tangkisan yang dikemukakan oleh tergugat yang tidak mengenai masalah wewenang Pengadilan untuk memeriksa suatu perkara, diperiksa den diputuskan bersama-sama dengan pokok perkaranya.
Pasal 23
(1) Jika tidak ada yang mengajukan tangkisan atau meskipun ada tangkisan tetapi ditolak, maka Pengadilan sesudah mendengar kedua belah pihak segera memeriksa dengan seksama dan adil tentang kebenaran dari gugatan dan gugat balasan serta sahnya alat-alat bukti yang dikemukakan.
(2) Ketua dapat menunda sidang yang sudah ditetapkan waktunya, bila ada alasan yang dapat diterimanya.
Pasal 24
Jika perkara yang diajukan itu mengenai hal yang tidak termasuk wewenang Pengadilan, maka setiap waktu Hakim dapat menyatakan atau diminta untuk menyatakan bahwa dia tidak berwenang memeriksa perkara yang bersangkutan.
Pasal 25
Penggugat, tergugat den penasehat hukum dapat mempelajari berkas-berkas perkara di kepaniteraan dan membuat kutipan seperlunya dalam jangka waktu yang ditentukan oleh Ketua Pengadilan atau Pengadilan Tinggi.
Pasal 26
(1) Bila saksi untuk kepentingan penggugat atau kepentingan tergugat tidak datang, dengan atau tanpa alsan, maka Pengadilan menentukan hari sidang lain untuk memeriksa saksi tersebut serta menyuruh seorang pegawai yang berwenang memanggil saksi itu untuk menghadap sidang pada hari yang sudah ditentukan itu.
(2) Pemanggilan saksi serupa itu dilakukan juga bila Pengadilan memandang perlu memeriksa saksi lain.
Pasal 27
(1) Bila saksi yang dipanggil menurut pasal 26 tidak datang pada hari yang ditentukan maka dia dihukum membayar semua biaya yang telah dikeluarkan untuk memanggilnya.
(2) Bila saksi yang dipanggil untuk kedua kalinya tetap tidak mau datang, maka dia dihukum membayar segala biaya panggilan dan perjalanan bagi penggugat serta tergugat disamping hukuman tersebut ayat (1) pasal ini.
(3) Selain yang tersebut dalam ayat (1) dan (2) pasal ini untuk panggilan yang ketiga kalinya Pengadilan dapat minta bantuan kepada pamongpraja atau polisi untuk memanggil saksi yang enggan datang.
(4) Bila ternyata kemudia bahwa ketidak datangannya itu dengan alasan yang dapat diterima, maka saksi dibebaskan dari hukuman tersebut dalam ayat (1) dan (2) pasal ini.
Pasal 28
(1) Pengadilan dapat memanggil saksi yang bertempat tinggal di luar daerah hukumnya.
(2) Apabila saksi tersebut dalam ayat (1) pasal ini tidak datang, maka dia tidak dikenakan hukuman yang tersebut dalam pasal 27.
(3) Dalam hai saksi tidak datang seperti tersebut dalam ayat 2 pasal ini,maka Pengadilan yang bersangkutan dapat minta -bantuan kepada Pengadilan yang berwenang ditempat tinggal, saksi untuk memeriksa saksi tersebut.
(4) Pengadilan ditempat saksi berkewajiban selekas mungkin, mengirimkan berita acara pemeriksaan kepada Pengadilan tersebut dalam ayat (1) pasal ini.
(5) Permintaan bantuan seperti tersebut dalam ayat (3) pasal ini dapat langsung dilakukan oleh Pengadilan tersebut ayat (1) pasal ini tanpa memanggil saksi yang bersangkutan terlebih dahulu.
(6) Berita acara pemeriksaan saksi tersebut dalam ayat (4) pasal ini dibaca dalam sidang Pengadilan yang bersangkutan.
Pasal 29
(1) Saksi yang datang pada hari yang ditentukan itu dipanggil ke dalam seorang demi seorang.
(2) Ketua menanyakan nama, umur, agama, pekerjaan, tempat tinggal hubungan keluarga sedarah atau semenda dengan salah satu atau kedua belah pihak dan bila ada hubungan keluarga ditanyakan derajatnya, serta ditanyakan pula apakah saksi menja di pegawai, pekerja, buruh atau pelayan pada salah satu pihak.
(3) Bila seorang saksi telah diperiksa, maka dia tetap ada dalam sidang sampai selesai.
Pasal 30
(1) Seorang saksi harus sudah baligh, berakal sehat, dapat mengutarakan kesaksiaannya dengan lisan atau tertulis dan sanggup berkata benar dibawah sumpah.
(2) Seorang saksi hendaknya Islam, kecuali bila sama sekali tidak ada, maka orang yang bukan Islam dapat didengar keterangannya.
(3) Satu orang saksi belum dipandang cukup dalam hukum, kecuali kalau ditambah dengan alat bukti lain.
Pasal 31
(1) Dalam tiap-tiap penyaksian harus disebut segala sebab musabab yang menjadikan saksi mengetahui, mendengar, atau mengalami hal yang diutarakan.
(2) Saksi harus memberitahukan tempat, waktu dan keadaan pada saat dia mengetahui dan mengatakan apa adanya tentang peristiwa yang diketahuinya.
(3) Sangkaan atau perasaan yang timbul karena pemikiran saja bukan penyaksian.
Pasal 32
Dalam menilai suatu persaksian, Hakim harus memperhatikan kecocokan seluruh kesaksian itu, kesesuaian penyaksian dengan apa yang diketahui dari sudut lain tentang perkara yang dipersengketakan sebab-sebab yang mungkin ada pada saksi untuk mengajukan persaksian secara tertentu, dan lain-lain yang pada umumnya dapat menjadikan kesaksian itu dapat dipercaya atau tidak.
Pasal 33
(1) Pertanyaan dari salah satu pihak kepada saksi harus diajukan melalui Ketua.
(2) Bila pertanyaan itu menurut pertimbangan Ketua tidak berguna bagi penyelesaian perkara yang sedang diperiksa, maka pertanyaan itu tidak diteruskan kepada saksi, tetapi tentang hal ini pihak yang memohonnya dapat meminta kepada Ketua agar penolakan Ketua itu dicatat dalam berita acara.
(3) Hakim dapat menanyakan segala hal kepada saksi yang menurut hematnya berguna untuk mencari kebenaran.
(4) Keterangan saksi dalam sidang ditulis dalam berita acara oleh Panitera.
Pasal 34
(1) Bila dipandang perlu, maka Ketua dengan bantuan panitera dapat mengadakan pemeriksaan setempat.
(2) Untuk pemeriksaan setempat, Ketua dapat mengutus seorang Hakim anggota yang dibantu oleh Panitera.
(3) Panitera membuat berita acara tentang pemeriksaan setempat
(4) Bila dipandang perlu, Pengadilan dapat mengadakan sidang di luar tempat kedudukan resminya untuk mempermudah dan memperlancar mencari kebenaran.
Pasal 35
(1) Untuk kepentingan pemeriksaan bila dipandang perlu Ketua dapat minta bantuan seseorang atau beberapa orang ahli.
(2) Ahli yang dapat diminta bantuannya ialah ahli yang memenuhi syarat-syarat seperti tersebut dalam pasal 30 ayat (1) dan (2).
(3) Ahli tersebut dalam ayat (1) pasal ini memberikan keterangan dibawah sumpah.
Pasal 36
(1) Jika kebenaran gugatan atau jawaban atas gugatan itu tidak cukup jelas, tetapi tidak sama sekali hampa dari pada keterangan dan tidak ada kemungkinan lagi untuk menemukan alat bukti lain, maka Ketua atas permintaan penggugat atau karena jabatan dapat menyuruh tergugat untuk meneguhkan kebenarannya dengan sumpah.
(2) Bila tergugat tersebut ayat (1) pasal ini mau mengangkat-sumpah, maka dia dimenangkan.
(3) Bila tergugat tidak mau mengangkat sumpah, maka Ketua menyuruh penggugat mengangkat sumpah. Bilamana penggugat mau mengangkat sumpah, maka penggugat dimenangkan.
Pasal 37
(1) Bila tidak ada sesuatu alat bukti yang dapat meneguhkan gugatan atau jawaban dari gugatan itu, maka salah satu pihak dapat minta pihak lain bersumpah dimuka Hakim, agar perkaranya dapat diputus, dengan ketentuan sumpah itu mengenai suatu perbuatan yang dilakukan oleh yang mengangkat sumpah itu sendiri dan pada sumpah itulah bergantung putusan perkara itu.
(2) Jika perbuatan itu satu perbuatan yang dilakukan oleh kedua belah pihak, maka yang tidak mau bersumpah itu, dapat mengembalikan sumpah itu kepada lawannya.
(3) Barang siapa enggan melakukan sumpah yang dibebankan kepadanya atau enggan pula mengembalikan sumpah itu kepada lawannya, ataupun barang siapa menyuruh bersumpah, sedangkan sumpah itu dikembalikan kepadanya dan dia enggan bersumpah, ha rus dikalahkan.
Pasal 38
(1) Sumpah itu baik yang diperintahkan oleh Hakin, maupun yang diminta ataupun yang dikembalikan oleh pihak yang satu kepada pihak lainnya, harus dijalankan sendiri dengan lisan di muka hakim dalam sidang.
(2) Bila orang yang seharusnya disumpah, karena suatu halangan yang dapat dibenarkan, tidak dapat datang di sidang, maka Ketua atau salah seorang Hakim anggota, dengan dibantu oleh Panitera mengambil sumpah orang yang berhalangan itu di rumahnya atau di tempat lain dimana dia berada.
Pasal 39
(1) Apabila suatu perkara tidak dapat diselesaikan dalam sidang pertama, maka pemeriksaan dilanjutkan pada sidang berikutnya.
(2) Sidang berikutnya ditentukan hari dan tanggalnya, diberitahukan kepada kedua belah pihak yang berlaku sebagai panggilan bagi mereka untuk sidang yang akan datang.
(3) Bila salah satu pihak tidak hadir pada pemberitahuan tersebut dalam ayat (2) pasal ini maka Ketua sidang menyuruh memberitahukan penundaan sidang itu kepada pihak yang tidak hadir.
(4) Penundaan sidang atas permintaan salah satu atau kedua belah pihak tidak dapat diperkenankan, kecuali bila ada alasan penting dan mendesak yang dapat dibenarkan oleh Ketua.
Pasal 40
(1) Hakim memberikan putusan mengenai semua hal yang dituntut / dimohon.
(2) Tiap perkara diperiksa secepat mungkin dengan teliti dan sempurna untuk mencari kebenaran dan keadilan.
(3) Bila perkara sudah selesai diperiksa dengan sempurna, maka sidang dischors untuk memberikan kesempatan kepada para Hakim mengadakan musyawarah tertutup guna menetapkan putusan.
Pasal 41
(1) Ketua memimpin sidang pemeriksaan dan rapat permusyawaratan
(2) Setiap orang yang ada dalam persidangan wajib memelihara tata tertib yang baik dan segala perintah Ketua harus dijalankan dengan segera dan cermat.
Pasal 42
(1) Barang siapa mengganggu keamanan dan ketertiban dalam persidangan misalnya dengan cara isyarat sebagai tanda setuju atau tidak setuju, mumbuat gaduh atau melakukan perbuatan lain yang mengganggu ketertiban dan ketenangan sidang diperingatkan oleh Ketua supaya diam dan menghentikan perbuatannya itu.
(2) Bila peringatan Ketua itu tidak diperhatikan,maka Ketua dapat mengusir orang yang bersangkutan keluar dari ruang sidang dengan tidak mengurangi hak ketua untuk menuntutnya bila ada perbuatan yang melanggar hukum.
Pasal 43
Surat-surat dinas bertalian dengan sidang, berita acara, salinan dan laporan harus ditandatangani oleh Ketua atau salah seorang dari Hakim Anggota atau oleh Panitera atas perintah Ketua.
Pasal 44
(1) Saksi juru bahasa, penasehat hukum dan saksi ahli mendapat uang jalan dan uang harian yang menjadi beban pihak yang mempergunakan.
(2) Bila orang-orang tersebut ayat (1) pasal ini bertindak atas perintah Hakim, maka uang jalan dan uang hariannya dibebankan kepada pemerintah sesuai dengan peraturan yang berlaku.
BAB IV
PEMBUKTIAN
Pasal 45
(1) Alat-alat bukti ialah surat, saksi, pengakuan dan sumpah.
(2) Selain yang tersebut dalam ayat (1) pasal ini, hasil pemeriksaan setempat, penglihatan Hakim dalam sidang, keterangan ahli dan apa yang diakui benar oleh kedua belah pihak adalah juga alat-alat bukti.
Pasal 46
(1) Akte otentik merupakan alat bukti yang sempurna bagi pihak yang bersangkutan, para ahli warisnya dan semua orang yang mendapat hak tersebut dari padanya mengenai segala hal tersebut dalam akta itu, kecuali bila ada bukti sebaliknya.
(2) Pemberitaan yang tercantum dalam akta otentik itu juga mempunyai daya pembuktian, asal pemberitaan itu langsung berhubungan dengan isi pokok dari akta otentik.
Pasal 47
Yang tidak dapat didengar sebagai saksi ialah :
a. Anak di bawah umur (belum baligh). b. Orang yang menurut keterangan dokter sakit ingatannya. c. isteri atau suami salah satu pihak, sekalipun telah bercerai.
d. Keluarga sedarah dan atau semenda garis lurus keatas / kebawah dari salah satu pihak yang beperkara.
Pasal 48
Penyalesian dari beberapa orang mengenai beberapa kejadian yang masing-masing berdiri sendiri, dapat meneguhkan suatu perkara, bila penyaksian-penyaksian itu saling berhubungan dan saling melengkapi mengenai perkara yang sedang diperiksa.
Pasal 49
Pengakuan yang diucapkan dihadapan Hakim cukup menjadi bukti yang memberatkan orang yang mengaku itu, baik pengakuan itu diucapkan sendiri maupun dengan pertolongan orang lain yang khusus dikuasakan untuk melakukan pengakuan itu.
Pasal 50
Tiap pengakuan harus diterima seluruhnya dan Hakim tidak boleh menerima sebagian sedang bagian lainnya ditolak, kecuali kalau bagian yang ditolak itu terbukti tidak benar.
Pasal 51
Orang yang telah mengangkat sumpah yang dibebankan kepadanya oleh Hakim atau baik dibebankan maupun dikembalikan kepadanya oleh lawannya tidak boleh diminta bukti lain untuk meneguhkan kebenaran sesuatu yang kebenarannya telah dijamin dengan sumpah itu.
BAB V
MUSYAWARAH DAN KEPUTUSAN PENGADILAN
Pasal 52
(1) Ketua sidang dan para hakim anggota memusyawarahkan segala hal ihwal tentang perkara yang sedang diadili untuk dapat menetapkan putusan yang adil.
(2) Dalam rapat permusyawaratan, Ketua mengajukan pertanyaan keliling, Ketua mengutarakan pendapatnya yang terakhir dengan disertai alasan-alasannya.
Pasal 53
(1) Dalam rapat permusyawaratan, Ketua karena jabatan wajib melengkapi dasar hukum yang tidak dikemukakan oleh kedua belah pihak.
(2) Dalam rapat permusyawaratan, dipertimbangkan juga sumber-sumber yang menyebabkan timbulnya sengketa untuk dipakai sebagai dasar atau bahan pertimbangan bagi putusan terakhir.
Pasal 54
Para Hakim, Panitera, Panitera Pengganti, Pegawai Pengadilan dan semua orang yang ada dalam rapat permusyawaratan diwajibkan merahasiakan ucapan dan pendapat-pendapat yang dikemukakan oleh para peserta dalam rapat permusyawaratan mengenai perkara yang sedang diperiksa.
Pasal 55
(1) Sesudah putusan ditetapkan,maka kedua belah pihak dipanggil masuk kembali dan putusan Pengadilan diucapkan oleh Ketua dalam sidang terbuka untuk umum.
(2) Jika salah satu pihak tidak hadir dalam sidang tersebut dalam ayat (1) pasal ini maka atas perintah Ketua, putusan Pengadilan itu diberitahukan dengan baik kepada pihak yang tidak hadir oleh pejabat yang khusus dikuasakan untuk itu.
(3) Hari dan tanggal pengucapan putusan tersebut dalam ayat (1) pasal ini dan penyerahan putusan Pengadilan kepada yang bersangkutan tersebut, tersebut dalam ayat (2) pasal ini dicatat dalam asli putusan Pengadilan oleh Panitera.
(4) Bila pihak yang bersangkutan tersebut dalam ayat (2) pasal ini tidak dapat ditemukan tempat tinggalnya, maka pengumuman putusan Hakim dilakukan dengan cara menempelkan salinan surat putusan tersebut pada papan pengumuman di Pengadilan.
Pasal 56
(1) Putusan Pengadilan itu harus berisi ringkasan gugatan, dan jawaban serta semua peristiwa hukum yang diperoleh dalam sidang, kemudian dasar hukum yang dipakai landasan putusan, dan akhirnya amar putusan Pengadilan tentang pokok perkara.
(2) Putusan Pengadilan tersebut dalam ayat (1) pasal ini ditandatangani oleh Ketua, Hakim Anggota dan Panitera.
(3) Putusan Pengadilan tersebut dalam ayat (2) disimpan sebagai asli.
(4) Putusan Pengadilan yang bukan putusan terakhir, meskipun harus diucapkan dalam sidang tidak perlu ditulis dalam satu putusan tersendiri, tetapi cukup ditulis dalam berita acara.
(5) Tiap-tiap pihak diberi turunan otentik dan putusan yang tersebut dalam ayat (3) pasal ini.
(6) Pihak yang dikalahkan dibebani biaya-biaya perkara.
Pasal 57
(1) Tiap perkara yang diperiksa dan diputus oleh Pengadilan, Panitera, wajib membuat berita acaranya secara lengkap.
(2) Berita acara itu ditandatangani oleh Ketua dan Panitera.
Pasal 58
(1) Jika Ketua tidak dapat menandatangani surat putusan dan berita acara sidang, maka penandatanganan itu dilakukan oleh Hakim Anggota yang tertinggi pangkatnya atau tertua umumya
(2) Jika Panitera atau Panitera pengganti tidak dapat menandatangani surat putusan Pengadilan atau berita acara sidang, maka hal itu beserta alasannya harus disebutkan dengan jelas dalam berita acara sidang.
BAB VI
BANDING
Pasal 59
Pihak yang tidak menerima putusan Pengadilan, dapat mengajukan permintaan banding kepada Pengadilan Tinggi dalam jangka waktu empat belas hari, terhitung mulai hari berikutnya salinan putusan Pengadilan itu diterimakan kepada pihak yang bersangkutan atau dalam jangka waktu tiga puluh hari, terhitung mulai hari berikutnya penempelan salinan putusan Pengadilan pada papan pengumuman di Pengadilan.
Pasal 60
(1) Permintaan banding disampaikan dengan surat atau dengan lisan oleh Pembanding kepada Pengadilan yang menjatuhkan putusan yang bersangkutan.
(2) Bila batas waktu tersebut dalam pasal 59 sudah lampau, maka permintaan banding tidak dapat diterima oleh Pengadilan yang bersangkutan.
(3) Permintaan banding diterima bila biaya banding, biaya administrasi dan biaya-biaya lainnya sudah dibayar lunas atau telah mengajukan surat keterangan tidak mampu seperti dimaksud dalam pasal 6 ayat (2).
Pasal 61
(1) Bagi putusan tak hadir yang sudah kedua kalinya seperti tersebut dalam pasal 12 ayat (4) masih ada kemungkinan banding
(2) Bila karena sesuatu sebab tergugat tidak dapat mempergunakan hak melawan putusan tak hadir, maka tergugat diperkenankan minta banding dengan tenggang waktu seperti pada pasal 59.
Pasal 62
(1) Putusan yang bukan putusan terakhir dapat dimintakan banding, tetapi harus bersama-sama dengan putusan terakhir.
(2) Putusan Pengadilan yang menganggap dirinya tidak berwenang untuk memeriksa perkara tertentu, dianggap sebagai putusan terakhir.
Pasal 63
(1) Permintaan banding yang sudah diterima seperti yang dimaksud dalam pasal 60 ayat (3) dicatat oleh Panitera dalam daftar banding.
(2) Panitera selekas mungkin memberitahukan hal tersebut dalam ayat (1) pasal ini kepada pihak terbanding.
(3) Selama berkas perkara banding belum dikirimkan kepada Pengadilan Tinggi, permintaan banding masih dapat dicabut.
Pasal 64
(1) Dalam jangka waktu empat belas hari sesudah pemberitahuan tersebut dalam pasal 63 ayat (2), para pihak dapat menambah surat bukti atau keterangan-keterangan lain untuk memperjelas pendirian masing-masing dan selanjutnya disampaikan kepada Panitera Pengadilan yang memutus perkara yang dimintakan banding itu.
(2) Sesudah jangka waktu tersebut dalam ayat (1) pasal ini lampau, maka Panitera memanggil para pihak untuk saling melihat jawaban dan tambahan keterangan masing-masing.
(3) Bila sudah tidak ada sesuatu yang akan ditambahkan lagi oleh para pihak, maka Ketua Pengadilan mengirimkan berkas perkara banding tersebut dengan lampiran salinan surat putusan, berita acara sidang dan surat-surat lain yang penting kepada Panitera Pengadilan Tinggi yang daerah hukumnya mewilayahi Pengadilan Agama yang memeriksa perkara yang dimintakan banding selambat-lambatnya tiga puluh hari sesudah hari pendaftaran banding tersebut dalam pasa1 63 ayat (1).
Pasal 65
(1) Pengadilan Tinggi dalam perkara banding memeriksa dan memutuskan dengan sekurang-kurangnya tiga orang hakim.
(2) Pengadilan Tinggi memeriksa berdasarkan naskah-naskah berkas perkara dan jika dipandang perlu dapat mendengar sendiri kedua belah pihak dan para saksi.
(3) Dalam pemeriksaan tingkat banding tidak diperbolehkan mengajukan gugatan balasan.
Pasal 66
(1) Jika pengadilan memutuskan bahwa dia tidak berwenang untuk memeriksa perkara yang kemudian dimintakan banding dan pengadilan Tinggi berpendapat lain, maka Pengadilan Tinggi dapat menyuruh Pengadilan yang bersangkutan untuk memeriksa -dan memutus perkara itu, atau perkara itu diperiksa dan diputus sendiri.
(2) Panitera Pengadilan Tinggi mengirimkan selekas mungkin salinan putusan tersebut beserta berita acara dan surat-2 lain yang bersangkutan kepada Pengadilan yang memutus perkara dalam tingkat pertama.
(3) Cara menjalankan putusan ini sama dengan cara menjalankan putusan Pengadilan dalam pemeriksaan tingkat pertama.
Pasal 67
Permohonan kasasi dan peninjauan kembahi terhadap putusan Pengadilan dan Pengadilan Tinggi diajukan kepada Mahkamah Agung yang acaranya diatur dengan Undang-Undang tersendiri.
BAB VII
MENJALANKAN PUTUSAN HAKIM
Pasal 68
(1) Putusan Pengadilan mempunyai kekuatan hukum yang tetap pada hari kelima belas, terhitung mulal hari berikutnya putusan Pengadilan itu diberikan kepada yang bersangkutan atau pada hari ketiga puluh satu terhitung mulai hari ditempelkannya, salinan putusan Pengadilan itu dipapan pengumuman Pengadilan Agama.
(2) Putusan Hakim tersebut ayat (1) pasal ini dilaksanakan oleh para pihak sendiri dengan pimpinan Ketua Pengadilan yang bersangkutan .
Pasal 69
(1) Bila ada kesulitan dalam melaksanakan putusan Pengadilan, maka pihak yang berkepentingan menghadap Ketua Pengadilan untuk lapor dan minta pelaksanaannya .
(2) Ketua Pengadilan memberi nasehat kepada fihak yang tidak mau menjalankan putusan agar suka melaksanakannya.
(3) Bila dipandang perlu yang bersangkutan dapat minta pelaksanaan eksekusi.
(4) Pengadilan dapat juga minta bantuan kepada polisi untuk melaksanakan putusan Pengadilan tersebut .
Pasal 70
(1) Bila terhukum tidak mau membayar sejumlah uang seperti yang ditetap kan dalam surat putusan Pengadilan, maka Ketua Pengadilan, memberi nasehat agar putusan itu dilaksanakan dalam tempo tujuh hari.
(2) Bila jangka waktu tersebut dalam ayat (1) pasal ini sudah lampau dan terhukum tetap tidak suka menjalankan putusan Pengadilan, maka Ketua Pengadilan memerintahkan Panitera atau petugas lain yang khusus dikuasakan untuk itu, mensita barang milik terhukum yang nilainya sama dengan jumlah uang yang harus dibayar terhukum menurut surat putusan Pengadilan.
(3) Aturan tentang cara-cara pensitaan dan penjualan barang2 sitaan yang berlaku di Pengadilan Negeri, berlaku juga bagi Pengadilan Agama.
Pasal 71
(1) Tantangan terhukum mengenai pelaksanaan pensitaan dan pelelangan atas barang2 miliknya diajukan dengan segera oleh terhukum kepada Pengadilan yang mengeluarkan surat perintah pensitaan dan pelelangan tersebut.
(2) Tantangan pihak ketiga yang menyatakan bahwa benda yang disita adalah miliknya harus mendapat pelayanan segera dari Pengadilan.
(3) Putusan terhadap tantangan tersebut dalam ayat (1) dan (2) pasal ini tidak boleh dimintakan banding dan segera harus dilaksanakan.
Pasal 72
(1) Panitera wajib memelihara daftar perkara yang diperiksa, daftar perkara banding dan daftar perkara kasasi.
(2) Disamping daftar tersebut dalam ayat (1) pasal ini Panitera diperbolehkan memelihara daftar-daftar lainnya untuk kelancaran tugas pekerjaannya.
BAB VIII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 73
(1) Pelaksanaan Undang-Undang ini ditetapkan lebih lanjut oleh Menteri Agama.
(2) Dengan berlakunya Undang-Undang ini, maka semua peraturan yang mengatur tentang acara pada Peradilan Agama dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 74
Undang-Undang ini mulai berlaku pada hari dan tanggal diundangkannya.
Agar setiap orang mengetahuinya memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Quelle: Departemen Agama, Laporan Loka Karya Badan Peradilan Agama 17 s/d 21 Januari 1977. Jakarta 1977. |